Oleh : Callin Leppuy, S.Sos
KITA tahu bahwa Stunting adalah salah satu isu kesehatan yang menjadi concern Pemerintah pusat untuk ditangani secara sistemik, struktural dan sustainable. Stunting menjadi masalah kesehatan penting karena apabila tidak ditangani, maka anak penderita stunting akan mengalami beberapa gejala seperti wajah tampak lebih muda dari anak seusianya, pertumbuhan tubuh dan gigi yang terlambat, memiliki kemampuan kognitif dan memori belajar yang buruk, pubertas yang lambat, saat menginjak usia 8-10 tahun anak cenderung lebih pendiam dan tidak banyak melakukan kontak mata dengan orang disekitarnya, dan berat badan lebih ringan untuk anak seusianya.
Stunting adalah masalah gizi kronis akibat kurangnya asupan gizi dalam jangka waktu panjang sehingga mengakibatkan terganggunya pertumbuhan pada anak. Stunting juga menjadi salah satu penyebab tinggi badan anak terhambat, sehingga lebih rendah dibandingkan anak-anak seusianya. Menurut World Health Organization (WHO), stunting adalah gangguan perkembangan pada anak yang disebabkan gizi buruk, terserang infeksi yang berulang, maupun stimulasi psikososial yang tidak memadai.
Stunting juga sangat inheren dengan kondisi kemiskinan di suatu daerah tertentu. Apabila kondisi kemiskinan di suatu daerah itu tinggi maka akan berbanding lurus dengan angka penderita stunting di daerah tersebut. Sebaliknya jika angka kemiskinan menurun maka angka stunting juga akan mengalami penurunan. Mengapa? Sebab masyarakat yang berpendapatan baik dengan tingkat pengeluaran perkapita baik akan sangat mudah untuk memenuhi asupan gizi anak. Sebaliknya jika memiliki pendapatan yang rendah, maka mereka mengalami ketidakmampuan dalam memenuhi asupan gizi anak. Apalagi kondisi tersebut ditunjang dengan kurangnya informasi tentang pentingnya asupan gizi kepada ibu hamil, ibu menyusui dan balita ditambah dengan minimnya akses masyarakat terhadap pengelolaan sumberdaya alam, maka akumulasi dari kondisi-kondisi ini tentu saja mengakibatkan kurang terpenuhinya kebutuhan gizi anak dan balita.
Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) Kementerian Kesehatan menunjukan bahwa prevalensi balita stunting di Indonesia mencapai 21,6% pada 2022. Angka ini turun 2,8 poin dari tahun sebelumnya. Tentu saja capaian ini merupakan hasil kerjasama dan kerja bersama-sama antara Pemerintah Pusat dan seluruh Pemerintah Daerah yang ada di Indonesia, salah satunya Pemerintah Provinsi Maluku. Meskipun demikian, tidak dapat disangkal bahwa angka prevalensi stunting masih sangat tinggi di Indonesia sehingga membutuhkan rangkaian kerja yang lebih adaptif, sistemik dan koordinatif.
Bagaimana dengan Stunting di Maluku ?
Sebagai salah satu Provinsi yang masyarakatnya masih tersandera kemiskinan absolut, problem stunting merupakan kenyataan yang kerapkali kita jumpai di hampir seluruh pelosok Maluku. Banyak sekali balita dan anak-anak di Maluku yang terpapar stunting akibat kurangnya asupan gizi, sanitasi yang buruk dan minimnya intervensi Pemerintah Daerah salam upaya penanganan stunting. Namun sejak tahun 2019 hingga sekarang, Pemerintah Provinsi Maluku di bawah kepemimpinan Bapak Gubernur Murad Ismail telah melakukan banyak sekali program penanganan dan pengentasan stunting di Maluku melalui Tim Penggerak PKK yang dipimpin oleh ibu Widya Pratiwi Murad Ismail.
Data Laporan Kinerja Bidang Kesehatan Masyarakat, Dinas Kesehatan Provinsi Maluku tahun 2019 memperlihatkan secara jelas bahwa prevalensi stunting di Maluku tahun 2015 berdasarkan hasil pemantauan status gizi sebesar 32%, kemudian mengalami penurunan menjadi 30% pada 2017. Dan pada tahun 2018 meningkat menjadi 34,2%. Angka ini fluktuatif bahkan mengalami peningkatan sampai 34,2% pada tahun 2018 dikarenakan saat itu penanganan stunting masih dilakukan secara parsial dan tidak integratif dengan berbasis pada koordinasi antar daerah Kabupaten/Kota di Maluku. Bahkan boleh dikata, saat itu Irjen Pol. Murad Ismail baru terpilih sebagai Gubernur Maluku sehingga sehingga belum banyak yang dapat dilakukan dan baru dilantik Presiden Jokowi pada 24 April 2019.
Widya Pratiwi Murad Effect
Dalam rangka pengentasan stunting di Maluku, maka pada tanggal 27 Juni 2019, Gubernur Maluku Murad Ismail mengeluarkan Keputusan Gubernur Nomor 99 Tahun 2019 tentang Pengukuhan Duta Perangi Stunting (Parenting) Maluku dimana ibu Widya Pratiwi Murad sebagai Ketua Tim PKK ditunjuk Gubernur sebagai Duta Parenting Maluku untuk selanjutnya dapat mengaksentuasikan agenda prioritas Daerah yaitu melakukan menangani masalah stunting di Maluku sebagai bentuk pengejewantahan agenda nasional penanggulangan stunting oleh Pemerintah Pusat.
Pasca dikukuhkan sebagai Duta Perangi Stunting (Parenting) Maluku, Widya Pratiwi Murad kemudian melakukan gebrakan awal dengan membentuk Ibu Parenting di 11 Kabupaten/Kota di Maluku dengan mengangkat para isteri Bupati/Walikota sebagai kepanjangan tangannya dalam menangani stunting di daerah masing-masing. Langkah yang dilakukan ini menunjukkan bahwa sang Duta Parenting itu sadar betul bahwa perlu adanya sebuah tim kerja yang integratif dan koordinatif dalam memerangi stunting di Maluku. Sebab tanpa adanya tim kerja yang terintegrasi dengan visi yang jelas, maka stunting di Maluku akan sulit dientaskan. Boleh dibilang sejak Indonesia merdeka sampai saat ini, baru pernah ada isteri seorang Gubernur Maluku yang bertindak passing over (melampaui batas) dan melakukan lompatan-lompatan kebijakan penanganan stunting dengan membentuk sebuah tim kerja yang solid melalui pelibatan isteri-isteri Bupati/Walikota sebagai bagian dari kerja besar menurunkan angka oenderita stunting di Maluku. Sebelumnya tak ada ketua tim PKK yang melakukan hal serupa. Dan tentu saja ini hebat.
Tidak berhenti disitu, Widya Pratiwi Murad justru terjun langsung ke seluruh pelosok Maluku guna memantau secara dekat setiap balita dan anak yang terpapar stunting sehingga program intervensi penanggulangan stuntingnya tepat sasaran. Dalam setiap aktivitas on the spotnya tersebut, Bunda Widya (salah satu sapaan akrabnya) kerap melakukan sosialisasi, menggerakan para isteri Bupati/Walikota dan seluruh kaum perempuan Maluku untuk lebih pro aktif dalam memberi asupan gizi yang diperlukan bagi balita dan anak.
Seperti kata pepatah; “proses tak pernah mengkhianati hasil”, dari semua upaya dan langkah-langkah serta kebijakan yang dilakukan guna penanganan stunting oleh Perempuan nomor satu di Maluku itu, pada tahun 2019 hingga sekarang, angka balita dan anak penderita stunting mulai mengalami penurunan drastis. Data Kementerian Kesehatan RI menunjukkan dari 34,2% persentase penderita stunting di Maluku pada 2018, mengalami penurunan drastis pada tahun 2019 yaitu 30,38%. Kemudian turun menjadi 28,7% pada tahun 2021 meskipun Covid’19 masih melanda dan pada tahun 2022 persentase stunting di Maluku menurun menjadi 26,1%.
Angka persentase stunting yang menurun dari tahun ke tahun tersebut membuktikan bahwa berkat tangan dingin seorang Widya Pratiwi Murad, masalah stunting di Maluku bukanlah problem yang sulit diperangi. Memang benar bahwa dalam menangani stunting di Maluku, dibutuhkan seorang figur sentral yang berwatak keibuan, futuristik, tak kenal lelah dan selalu berpikir out of the box. Dan karakter otentik seperti itu sangat terlihat menempel pada diri seorang Widya Pratiwi Murad. Karena itulah, semua orang lintas latar belakang rela mengikutinya melakukan upaya-upaya penanganan stunting dalam berbagai level dan pendekatan.
Itulah yang penulis sebut sebagai Widya Pratiwi Murad Effect atau efek dari seorang Widya Pratiwi Murad. Ia adalah manusia biasa yang kadang menangis saat bertemu para balita penderita stunting, namun satu yang nampak darinya adalah beliau merupakan pribadi yang tak pernah kenal lelah demi 6 huruf “M A L U K U”.
Terima kasih ibu Widya Pratiwi Murad, Ina Latu Maluku, tindakanmu telah memberi efek keasadaran bagi banyak kaum ibu di Maluku untuk terus memerangi Stunting demi generasi Maluku yang lebih baik di masa depan.
Penulis adalah Koordinator Moluccas Development Studies Center (MDSC)
Komentar