بسم الله الرحمن الرحيم
Allah ﷻ berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.” (QS. Ali-‘Imran 3: Ayat 102).
IMAN ITU AMAN, DAN MENGAMANKAN.
ISLAM ITU SELAMAT, DAN MENYELAMATKAN
Dalam hidup, senantiasa dalam ketaqwaan, tidak mati kecuali dalam keadaan iman Islam.
Bahasa ulama taqwa itu “imtitsaalu awaamirillaahi, wa ijtinaabu nawaahiihi” = melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangannya”.
Bahasa saya, taqwa itu baik,..
Baik kepada Allah dengan ritual ibadah.
Baik kepada diri sendiri dengan menjaga hati.
Baik kepada sesama dengan amal sosial karena rasa peduli yang bersumber dari empati dan simpati yang tertanam dalam jiwa.
RITUAL IBADAH ADALAH SARANA
CARACTER BUILDING ITU TUJUANNYA
SELAMAT DAN BAHAGIA DUNIA AKHIRAT ITU BUAHNYA
Dalam ritual peribadatan yang Allah ﷻ telah syari’atkan, nampak dengan jelas dimensi tarbiyah dan tamrinah -pendidikan dan latihan-, agar dalam diri manusia terbangun karakter positif, mental yang kuat dan kepribadian yang baik.
Ibadah-ibadah itu mendidik individu-individu manusia agar memiliki karakter disiplin dan fokus seperti dalam ibadah shalat, karakter pemurah, peduli sesama dan tidak kikir seperti dalam ibadah zakat, memiliki rasa kesamaan, kesatuan dan membangun kebersamaan dalam ibadah haji.
Begitu pula adanya dengan ibadah puasa di bulan Ramadhan adalah sebagai sarana pembentukan karakter bagi seseorang yang melakukan ibadah puasa tersebut agar memiliki kualitas kontrol diri yang paripurna.
Namun seringkali kita terjebak pada menjadikan sarana sebagai tujuan. Terjadi pembelokan cara menjadi tujuan.
Sholat sebagai sarana berdzikir -mengingat dan mendekatkan diri kepada Allah ﷻ- dan berdoa -memohon pertolongan kepada-NYA.
Shalat sebagai sarana DZIKRULLAH, sebagaimana firmanNYA, yang artinya :
“Sesungguhnya Aku adalah Allah, tiada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikan shalat untuk mengingat Aku”,(QS. Thaha : 14).
Shalat sebagai sarana berdoa, sebagaimana firmanNYA, yang artinya:
“Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan mendirikan shalat,,…………”(QS. Al-Baqarah : 45).
Namun seringkali didalam sholat tidak terjadi selain “dzikir mulut”, sekedar berucap semata. Bukan berdzikir, tapi sekedar “mengucapkan kalimat dzikir”, sedang hati lalai dari dzikrullah yang sesungguhnya.
Demikian pula, sholat sebagai cara untuk berdoa -memohon pertolongan kepada Allah ﷻ-. Tapi kita seringkali lebih mantap berdoa seusai sholat dibandingkan didalam sholat itu sendiri, padahal bacaan sholat banyak terkandung doa, coba perhatikan doa diantara dua sujud :
“Ya Tuhanku ampunilah aku dan sayangi aku dan tutuplah aib-aibku dan angkatlah derajatku dan berilah aku rezeki dan berilah aku petunjuk dan sehatkanlah aku dan maafkanlah aku”
Sungguh luar biasa isi kandungan doa tersebut, mencakup urusan dunia dan akhirat, akan tetapi kita lalai didalamnya.
Lalu setelah sholat barulah kita berdoa, itupun seringkali kita membaca kalimat doa semata, bukan “berdoa yang sebenarnya”, yakni kesadaran jiwa dalam betul-betul bermohon kepada Allah ﷻ.
Yaa, seringkali shalat kita jalankan sebagai kewajiban semata, merasa puas atau lega ketika kita sudah melakukan shalat seolah telah terlepas dan terbebas dari beban berat. Lalu merasa diri sudah melakukan kebaikan.
Begitu juga dengan ibadah zakat, seringkali kita terjebak pada kekeliruan diatas.
Tujuan zakat adalah sarana untuk membangun kepedulian sosial sekaligus mengikis rasa cinta dunia yang berlebihan dari si kaya, dan memberangus rasa kecemburuan dan iri dengki dari si faqir kepada si kaya.
Dari itu dalam menunaikan zakat, memberikan infaq, dan sedekah si pemberi tetap dalam koridor menghormati dan memuliakan si penerima zakat, infaq, dan sedekah, serta tumbuhnya rasa syukur dan terima kasih dari si penerima.
Namun seringkali nilai zakat, infaq, dan sedekah diatas terlupakan dalam aktualisasinya.
Begitu pula dalam ibadah haji, bukan sekedar mencari predikat gelar Haji atau Hajjah, kemudian kita tunjukkan dalam label nama kita, atau sampai ganti nama segala agar terkesan islami. Atau, ritual manasik haji itu sendiri yang dijadikan tujuan kedatangan kita ke Tanah Suci. Padahal tujuan berhaji bukan itu. Tujuannya adalah memperoleh “pelajaran hidup” dengan cara napak tilas perjuangan Nabi Ibrahim dan keluarganya, Nabi Muhammad ﷺ dan keluarga serta para sahabatnya. Sehingga selama menjalani ritual manasik haji di Tanah Suci terjadi refkeksi, perenungan-perenungan untuk memperoleh “pelajaran hidup” dengan harapan semoga keikhlasan dan kegigihan perjuangan beliau-beliau manusia-manusia mulia itu menular kepada kita, dan kita mampu mengaktualisasikan dan mengimplementasikannya dalam kehidupan kita sehari-hari sepulang dari Tanah Suci.
Nah, demikian halnya dengan ibadah puasa. Tujuan utamanya adalah untuk mengubah keadaan diri menjadi lebih terkendali dan memiliki nilai kualitas kejiwaan yang paripurna. Atau dalam istilah syariat “lebih bertaqwa”.
Sarana yang dipakai adalah dengan menciptakan kondisi lapar dan dahaga, plus beberapa pantangan yang harus dijauhi, ditinggalkan dengan kefahaman dan ketulus-ikhlasan didalamnya.
Tujuan puasa adalah mengubah kemampuan kontrol diri dan jiwa kita, bukan sekedar menjalankan kewajiban semata dengan berlapar-lapar dan berhaus-hausan, apalagi sekedar ikut-ikutan.
Puasa merupakan jenis ibadah yang mendidik untuk disiplin. Puasa bukan sekedar menahan lapar, dahaga, dan syahwat belaka. Akan tetapi juga menahan lisan dari ucapan kotor, dusta, mencelah, ghibah, hoaks, memfitnah, menahan pandangan mata dari melihat yang tidak sopan dan terlarang, menahan telinga dari pendengaran yang tak senonoh, menahan tangan dan kaki dari perbuatan tercela, bahkan menahan hati dari buruk sangka. Puasa melatih kesabaran, mendidik berbuat kebaikan-kebaikan. Berbuat baik kepada diri sendiri, keluarga, tetangga, masyarakat, dan kepada siapa saja yang ada disekelilingnya.
Sungguh indah pesan dari sahabat Nabi ﷺ, Jabir radhiyallaahu ‘anhu :
اذا صمت فليصم سمعك و بصرك و لسانك عن الكذب و المآثم، و دع عنك اذی الجار، و اليكن عليك وقار و سكينة، و لا يكن يوم صومك و يوم فطرك سواء.
“Apabila engkau berpuasa, maka hendaklah berpuasa pula pendengaranmu, penglihatanmu, dan juga lisanmu dari dusta dan dosa-dosa. Dan jauhilah olehmu menyakiti tetangga, hendaklah engkau sabar dan penuh ketenangan. Janganlah hari puasamu dan hari tak puasamu sama saja adanya”.
Olehnya itu, janganlah kita mengulang kesalahan yang sama, setelah sekian lama kita menjadi muslim, menjadi mukmin, dengan menjadikan cara sebagai tujuan.
RITUAL IBADAH ADALAH SARANA, KARAKTER BUILDING ITU TUJUANNYA, SELAMAT DAN BAHAGIA DUNIA AKHIRAT ITU BUAHNYA
Dan karakteristik mukmin, muslim itu tersimpulkan dalam :
*Iman itu Aman, dan Mengamankan.*
*Islam itu Selamat, dan Menyelamatkan*
Dalilnya :
Rasulullah ﷺ bersabda,
اَلْمُؤْمِنُ مَنْ أَمِنَهُ النَّاسُ وَالْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ السُّوْءَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ عَبْدٌ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
“Mukmin adalah orang yang manusia aman dari (gangguan)nya. Dan Muslim adalah yang kaum muslimin selamat dari (gangguan) lisan dan tangannya. Dan orang yang hijrah adalah yang menjauhi keburukan.
Dan demi Dzat yang jiwaku dalam genggaman-Nya, tidak akan masuk Surga seorang hamba yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya” (Shahih al-Jami’).
Demikian,..
Wallaahu a’lam
Al-Faqir Kang Ozan
(Ketua BAZNAS Kab. Buru)
Komentar